

Oleh AHMAD DAHIDI
(Pembimbing Katumbiri, Dosen Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI)
JIKA dua hati sudah menyatu, maka gejolak rasa akan membara menembus sekat ruang dan waktu. Itulah kenyataan yang terjadi dalam kehidupan ini, khususnya bagi saya sejak “jatuh cinta” pada seni dan budaya Indonesia dan Jepang. Berbagai program sudah saya rintis sejak tahun 90-an, antara lain terwujudnya muhibah kesenian “Laras Rumingkang” ke Osaka sekitarnya tahun 1992; Tim kesenian Jepang performance di UPI dan ASTI Bandung tahun 1993; muhibah kesenian Kabumi UPI ke Tokyo tahun 2000 an, UKM Katumbiri FPBS ke Jepang (Okinawa- Jepang) tahun 2015 (rangkaian kegiatannya bisa dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=-WG0O1F0xao), penyelenggaraan Summit Budaya di UPI tahun 2014 yang dihadiri oleh 26 negara, dan insya Allah UKM Katumbiri FPBS UPI akan melaksanakan muhibah kesenian lagi ke Osaka dan sekitarnya tahun 2017 ini. Tujuan dibentuk UKM Katumbiri di FPBS UPI adalah dalam rangka (1) Memfasilitasi, menyalurkan, dan menindaklanjuti kegiatan berbahasa dan berseni untuk sivitas akademika FPBS umumnya, dan kegiatan para mahasiswa apabila ada peluang untuk tampil berkesenian di dalam maupun di luar negeri; (2). Mengadopsi dan menunjang bakat seni dan budaya yang dipunyai oleh sivitas akademika FPBS agar potensi yang dimilikinya bisa “tersalurkan” ke arah yang positif; (3) Menyelenggarakan diskusi seni dan budaya agar wawasan seluruh civitas akademika FPBS UPI mengenal nilai nilai seni dan budaya tradisional, nasional, dan internasional: dan (4) Menindaklanjuti dan mendukung gagasan para peserta summit budaya dalam rangka turut serta menciptakan perdamaian dunia melalui seni dan budaya, yang telah dituangkan dalam deklarasi Bandung 2014. Sedangkan bentuk kegiatannya adalah (1) performance hasil kreativitas sivitas akademika FPBS secara berkala satu semester satu kali (kolaborasi dengan dosen pemegang mata kuliah Apresiasi Bahasa dan Seni (ABS); (2) menyelenggarakan muhibah kesenian di dalam dan di luar negeri. Alhamdulillah langkah perdana Katumbiri sudah bisa mengepakkan sayapnya di Okinawa Jepang pada bulan Nopember 2015;(3) menyelenggarakan diskusi seni dan budaya kolaborasi dengan lembaga yang relevan baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus; dan (4) turut serta menyemarakkan kegiatan akademik seperti Dies Natalis dan Wisuda yang diselenggarakan di UPI, terutama penyelenggaraan pelepasan para wisudawan.Karim Suryadi
Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia,
kolumnis Pikiran Rakyat
SUDIRA merasa malu bukan kepalang. Wajahnya murung, hari-harinya dijalani dengan kesendirian. Kalau tidak untuk urusan penting, ia memilih tidak keluar rumah dan menghindari kontak dengan orang lain. Apa sebabnya? Sudira merasa malu karena dilaporkan kepada Ketua RT oleh Suparya, yang tidak lain adalah tetanggnya. Sudira didakwa telah merusak rumah Suparya, karena buah limus yang ditanam di halamannya jatuh tertiup angin kencang saat hujan dan menimpa genting rumah Suparya. Genting kamar mandi Suparya pecah berantakan, dan air hujan menerobos masuk. Selain meminta Sudira dan Suparya berdamai, ketua RT memerintahkan agar dahan limus yang menjorok ke rumah Suparya dipotong, dan Sudira harus bertanggung jawab bila ada buah limus yang jatuh menimpa rumah Suparya. Putusan RT tidak memuaskan Suparya, dan ia pun “naik banding” dengan melaporkan kasus ini ke ketua Rukun Kampung (RK). Setelah bermusyawarah, ketua RK memutuskan agar pohon limus milik Sudira ditebang untuk mencegah terulangnya cekcok, namun keputusan ini belum meredakan ketegangan dua keluarga yang hidup bertetangga tersebut. Alih-alih mereda, istri Suparya melemparkan buah limus yang menimpa gentingnya ke kaca rumah Sudira. Kaca rumah Sudira pun pecah. Tidak terima atas tindakan istri Suparya, Sudira pun balik melaporkan istri Suparya ke polisi. Tak jauh beda dengan putusan sebelumnya, polisi pun meminta keduanya berdamai. Bukannya meredakan ketegangan, tindakan polisi dirasa melecehkan Sudira karena harga kaca rumah dianggap tidak seberapa, maka ia pun melaporkan perlakuan istri Suparya ke pengadilan. Saat menunggu panggilan sidang pengadilan, kebingungan Sudira memuncak, selain mengetahui bahwa hakim yang akan memeriksa kasusnya adalah kakaknya istri Suparya, juga karena buah limus yang akan menjadi barang bukti sudah habis dibikin rujak dan dimakan bersama anak-anak Sudira dan Suparya.Karim Suryadi
Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia,
kolumnis Pikiran Rakyat