![]()
Bandung, UPI
Mahasiswa Departemen Pendidikan Bahasa Daerah mengadakan pergelaran musik yang mengambil tema “Karinding Nyaring – Karinding Nyanding Hariring” di Gedung Kebudayaan UPI Jalan Dr. Setiabudhi Nomor 229 Bandung. Jumat, (9/12/2016). Dalam pergelaran tersebut turut hadir pula
Dr. Tri Karyono, M.Sn. dan Kimung Personel Karinding Attack.
Karinding mulai muncul antara zaman pertanian dan zaman perundagian. Alat musik ini biasa dimainkan orang-orang sambil menunggui sawah atau ladang di hutan atau di bukit-bukit, saling bersahutan antara bukit yang satu dan bukit lainnya. Alat ini bukan cuma menjadi pengusir sepi tapi juga berfungsi mengusir hama.
Suara yang dihasilkan oleh karinding ternyata menghasilkan gelombang
low decibel yang menyakitkan hama sehingga mereka menjauhi ladang pertanian. Catatan tertua tentang karinding ada di naskah
Pendakian Sri Ajnyana yang diperkirakan ditulis abad ke-16. Dalam naskah itu dikisahkan karinding disimpan di palang dada gedung keraton bidadari Puah Aci Kuning di kahyangan.
Di kalangan rakyat umum, karinding adalah alat musik pertanian dan alat ritual yang dimainkan dalam berbagai acara. Di kalangan para pemuda Tatar Sunda, karinding populer sebagai alat musik pergaulan. Di Banten, karinding dimainkan sebagai alat musik permainan anak-anak. Jejak karinding yang lebih kentara justru datang dari Tasikmalaya.
Kimung Karinding Attack mengungkapkan “Karinding adalah
waditra karuhun Sunda, terbuat dari pelepah kawung atau bambu berukuran 20 x 1 cm yang dibuat menjadi tiga bagian, yaitu bagian jarum tempat keluarnya nada (disebut
cecet ucing), bagian untuk digenggam, dan bagian
panenggeul (pemukul). Jika bagian
panenggeul dipukul, maka bagian jarum akan bergetar dan ketika dirapatkan ke rongga mulut, maka akan menghasilkan bunyi yang khas. Bunyi tersebut bisa diatur tergantung bentuk rongga mulut, kedalaman resonansi, tutup buka kerongkongan, atau hembusan dan tarikan napas.”
![]()
“Tiga bagian ini merefleksikan juga nilai, oral dan ajaran yang terkandung dalam karinding, yaitu yakin, sadar, sabar.
Dipegang yang yakin, ditabuh yang sabar, dan jika sudah ada suara harus sadar jika itu bukan suara kita. Secara kebahasaan, karinding berasal dari kata
ka dan
rinding.
Ka berarti sumber dan
rinding berarti suara”, kata Kimung.
Jenis bahan dan jenis disain karinding menunjukan perbedaan usia, tempat, jenis kelamin pemakai. Karinding yang menyerupai susuk sanggul dibuat untuk perempuan, sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, agar bisa disimpan di tempat tembakau. Bahan juga menunjukkan tempat pembuatan karinding. Di kawasan lain di Indonesia, karinding disebut juga
rinding (Yogyakarta),
genggong (Bali),
dunga atau
karindang (Kalimantan) atau alat sejenis dengan bahan baja bernama
jawharp di kawasan Nepal dan Eropa dan
chang di Cina dengan bahan kuningan. Selain ditabuh, karinding juga ada yang dimainkan dengan cara dicolek atau disintir.
(Rija)